(Rumah Amal Salman, Bandung) - Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan oleh pengenaaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada pembelian sembako. Rakyat Indonesia pun turut kecewa jika wacana ini menjadi nyata adanya. Pemungutan pajak pada kebutuhan utama manusia ini akan semakin mencekik warganya.
Pajak Pertambahan Nilai adalah adalah pungutan yang dibebankan kepada konsumen akhir atas transaksi jual beli barang atau jasa. Badan yang melakukannya adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Rencana ini terdapat dalam revisi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (KUP). Pada Pasal 4A, pemerintah menghapus beberapa jenis barang yang tak dikenai PPN. Sembako menjadi salah satu yang dihapus dari ketentuan. Sehingga sembako akan dikenakan PPN dengan besaran 12 persen jika rencana ini berlaku di tahun depan.
Melansir cnbcindonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya berlaku bagi sembako atau bahan pangan dengan kualitas premium.
Alasannya, sembako premium dikenakan PPN karena di Indonesia sembako jenis tersebut dijual 15 kali lipat lebih mahal dari harga sembako biasa. Sehingga komoditas beras lokal akan bebas PPN. Begitu pula daging sapi dan sembako lain yang premium.
Sembako premium yang dimaksudkan Sri Mulyani adalah Beras Shirataki, Beras Basmati, Wagyu, atau Kobe. Hal ini ditegaskan juga oleh pernyataan Sri Mulyani di instagramnya @smindrawati.
"Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum,".
Berdasarkan draft Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), daftar sembako yang akan dikenakan PPN di antaranya beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, telur, susu, sayuran, ubi, dan bumbu.
Menurutmu, apakah ini diperlukan dan urgensinya tinggi untuk dilakukan pelaksanannya saat ini?