(Rumah Amal Salman, Bandung) – Sahabat Amal, sebelum diangkat menjadi Rasul utusan Allah, Nabi Muhammad pernah ditunjuk menjadi hakim dalam urusan peletakkan Batu Hahar Aswad. Ketika itu sedang dilakukan pembangunan Ka’bah. Para pembesar Quraisy kemudian berselisih tentang siapa orang yang berhak meletakkan Hajar Aswad di pojok dinding sebelah Timur.
Perselisihan yang berawal dari mulut itu menjadi pertengkaran yang hebat. Pasalnya, mereka sama-sama mengaku berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat semula. Tidak seorang pun mau mengalah, hingga pertengkaran itu terjadi lima hari lima malam.
Kemudian, seorang bangsawan Quraisy tertua dan paling berpengaruh, Huzaifah bin Mughirah, berusaha memadamkan api emosi yang hampir memuncak itu. Huzaifah mengumpulkan orang-orang yang berselisih ke tengah-tengah Majidil Haram, di dekat Ka’bah yang baru selesai di bangun. Ia pu menyampaikan kurang lebih;
“Hai orang-orang yang sedang berselisih dan bertengkar! Kalian hendaknya jangan melanjutkan pertengkaran itu. Marilah kita sama ingat bahwa kalian telah sama mengeluarkan harta benda yang tidak sedikit, mencurahkan tenaga yang sangat banyak, dan membuang waktu berhari-hari. Kini, apa yang kamu kerjakan telah selesai, tinggal meletakkan batu hitam itu saja. Suatu pekerjaan yang sangat mudah dan ringan. Tetapi, mengapa kamu berselisih dan bertengkar begitu hebat? Sekarang baiknya begini saja, hendaknya perkara ini kita serahkan kepada seorang hakim yang adil, yang kamu pilih sendiri di antara kamu sekalian. Adapun cara memilih hakim begini, barangsiapa yang pada hari besok pagi lebih dulu masuk ke dalam Masjidil Haram ini melalui pintu Bani Syaibah, dialah yang harus memutuskan perkara ini.”
Memang sudah jadi taqdir Allah, siapa menyangka permasalahan ini akhirnya selesai oleh seorang pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin umat Islam. Karena, setelah perkataan Hudzaifah tersebut, keesokan harinya, ada yang melihat bahwa Muhammad bin Abdullah menjadi orang yang lebih dahulu masuk ke dalam Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah. Maka ia terpilih menjadi seorang yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempat semula.
Namun, Muhammad memang bukan orang yang serakah. Beliau juga tidak lantas menggunakan peluang ini sebagai hari kepahlawanannya. Beliau berpikir jauh ke depan untuk benar-benar bisa memadamkan api perselisihan yang terjadi. Lantas ketika itu, ia meminta sehelai kain dari mereka, kemudian kain itu dihamparkannya. Lalu Hajar Aswad beliau letakkan di atas dan di tengah-tengahnya. Kemudian para pembesar Quraisy diminta bersama-sama dan beramai-ramai memegang dan mengangkat bagian tepi kain itu, untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula.
Keputusan ini tentu saja membuat para pembesar Quraisy merasakan bahagia tidak terhingga. Dengan demikian, lenyaplah api permusuhan di antara mereka yang hampir saja menimbulkan perang saudara. Sejak itu, terlihat pula kecerdasan dan keadilan Muhammad bin Abdullah di kalangan masyarakat Kota Mekka, terutama di kalangan para bangsawan Quraisy. Meksi pada akhirnya di masa ketika Muhammad diangkat menjadi Rasulullah SAW, para pembesar Quraisy itu mendustakannya. Disarikan dari buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1. ***