Eksistensi Keberadaan Manusia di Muka Bumi

(Rumah Amal Salman, Bandung) - Sebagai makhluk berakal, keberadaan manusia di muka bumi sudah berlangsung sejak 50 ribu tahun yang lalu dari zaman purba hingga zaman sekarang serba canggih. Perkembangan teknologi dan informasi semakin cepat, keinginan manusia seolah tak pernah padam meskipun segala sesuatu sudah serba praktis. Keinginan untuk lebih dari sebelumnya dan meningkatkan apa yang dimiliki menjadi sesuatu yang menjadi bagian dari manusia itu sendiri.

“Kalau hidup sekadar hidup, babi dihutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja” sebuah ungkapan fenomenal dari Buya Hamka yang hingga kini melegenda. Sebab, hidupnya manusia tidak sama dengan hidupnya makhluk lain yang ada di muka bumi ini. Manusia diberi akal untuk berpikir, diberi akal untuk memikirkan segala hal yang telah diciptakan oleh Allah. Bahkan dalam Surat Az-Zumar Ayat 21, Allah SWT berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar: 21)

        Maka jelas perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya, yakni diberikan akal, agar dengannya dapat memikirkan segala sesuatu yang ada di bumi ini. Sehingga manusia dapat eksis dengan berbagai hal yang dilakukannya.

            Eksistensi manusia di muka bumi jika ditinjau dari Filsafat Sören Kierkegaard, Kierkegaard mengatakan bahwa hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana yang dipikirkan melainkan sebagaimana yang dihayati. Semakin mendalam penghayatan manusia mengenai kehidupan maka semakin bermakna pula kehidupannya. Kierkegaard menjelaskan dalam karyanya The Present Age bahwa manusia manusia modern menjelma menjadi manusia massa. Massifikasi akan menjadi hantu-hantu yang melenyapkan ketunggalan kepribadian manusia. Proses penyamarataan ini akan menyebabkan timbulnya frustasi pada manusia karena manusia dicengkram olehnya.

            Sebagai seorang muslim, eksistensi keberadaan manusia tentunya tidak akan lepas dari dalil yang ada di dalam Al-Quran. Seperti yang tertera di dalam Surat Ad-Dzariyat ayat 56:  “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Ad-Dzariyat: 56)

            Berkaitan dengan eksistensi keberadaan manusia tersebut, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Dr. (H.C.) Suharso Monoarfa, mengutip ayat tersebut ketika menjelaskan bagaimana eksistensi manusia tersebut dalam khutbah jumat di Masjid Salman ITB, Jumat, (26/2). Beliau mengatakan bahwa dalam kehidupan ini, eksistensi manusia tidak akan pernah lepas dari pertanyaan ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’ yang berakhir pada sinkronisasi antara dzikir dan tafakur. ***

Sumber foto: unsplash

Bagikan :

Bagikan

Berita Lainnya