(Rumah Amal Salman, Bandung) - Sahabat Amal, berbohong bukan hal yang dibenarkan dalam Islam, kecuali dilakukan untuk 3 kondisi.
Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih).”
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).
Pertama, berbohong dalam peperangan. Dalam perang membela agama, maka diperbolehkan mengeluarkan strategi untuk mengelabui musuh. Nabi mengatakan yaitu perang adalah tipu daya.
Kedua, berbohongnya suami terhadap istri atau istri terhadap suami. Ini dilakukan untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan.
Ketiga, dengan mengatakan kebohongan di antara orang yang bertikai. Namun pada akhirnya akan menghilangkan perpecahan dan menyatukan keduanya. Dalam kitabnya al-Adab al-Kubro, Ibnu Muflih mengatakan:
“Dan diharamkan berdusta di luar tiga perkara tersebut yaitu islah, perang, dan istri.”
Lantas apa ketentuannya berbohong yang diperbolehkan? Ibn al-Jauzy menjelaskan sebagai berikut:
“Ketentuannya adalah setiap tujuan yang mulia yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan berdusta, maka hal itu diboleh selama perkaranya tergolong boleh, jika wajib hukumnya juga bisa wajib.” ***