6 Adab Ketika Berutang Dalam Sudut Pandang Islam

(Rumah Amal Salman, Bandung) – Sahabat Amal, Islam menganjurkan agar manusia menghindari utang. Sebab, berbagai masalah dan kemudharatan muncul akibat adanya utang piutang. Namun, karena suatu kondisi terkadang seseorang terpaksa melakukan utang. Adapun demikian, berikut adab yang harus diperhatikan ketika berutang atau ketika henda mau, di antaranya:

1. Berhutang dengan niat untuk keberlangsungan hidup

Sebaiknya berutang dilakukan bila memang kondisinya sangat terdesak. Misal, karena kebutuhan ekonomi, kesehatan, atau pendidikan. Sedang, berutang karena alasan gaya hidup sebaiknya tidak dilakukan, sebab akan menyulitkann diri bahkan keluarga kita.

“Barangsiapa membawa harta orang lain dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan mengembalikan untuknya. Barangsiapa membawa harta orang lain dengan niat menghabiskannya, maka Allah akan menghabiskan harta itu (sehingga ia tidak dapat mengembalikannya).” (HR Bukhari)

2. Bekerja keras untuk segera melunasi utang

Berusaha keras mencari dana agar mampu melunasi utangnya. Kerja keras inilah yang akan mendatangkan ampunan dari Allah dan jaminan Rasulullah SAW. Jika ia meninggal dunia, sedangkan ia belum dapat melunasi utangnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara umatku yang menanggung suatu utang, kemudian ia telah berusaha dengan keras untuk membayarnya, lalu ia meninggal dunia sebelum membayarnya, maka aku akan menjadi walinya.” (HR. Ahmad)

3. Bersegera mengembalikan utang

Sebaiknya kita tidak menunda-nunda untuk membayar utang. Ketika sudah mampu namun menahan membayarnya, maka ini menjadi bagian suatu kedzaliman dan akan mendatangkan aib dan hukuman bagi dirinya.

Rasulullah SAW, bersabda: “Penundaan pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah sebuah kedzaliman,” (HR. Bukhari)

“Penundaan pembayaran utang oleh seorang yang mampu akan menghalalkan hukuman terhadapnya dan penistaan terhadap kehormatannya.” (HR. Bukhari)

4. Tidak membalas amarah pemilik piutang

Bersabar ketika menghadapi sikap dan perlakukan buruk dari pemberi utang. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, seorang lelaki datang kepada Nabi SAW untuk menagih utang, lalu ia bersikap kasar sehingga sebagian sahabat hendak memukulnya, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Biarkanlah ia, karena sesungguhnya pemilik hak memiliki hak untuk berkata-kata.”

Kemudian beliau melanjutkannya, “Berikan kepadanya seekor unta yang umurnya sama dengan unta miliknya.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan kecuali yang lebih besar darinya.” Beliau bersabda, “Berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari-Muslim).

5. Melebihkan Nominal Utang

Melebihkan disini bukan berarti menambahkan bunga, karena bunga bagian dari riba, dan hukum riba adalah haram. Melebihkan yang dimaksud merupakan sebagai ungkapan terima kasih kepada pemberi utang. Bisa dalam bentuk uang atau juga barang/makanan/dll. Dengan catatan orang yang kita utangi juga bersedia menerima kelebihan ini. Bila tidak mau jangan dipaksa.

Jabir r.a menuturkan, “Nabi SAW, berutang kepadaku, lalu ia melunasinya dan memberikan tambahan kepadaku.” (HR. Muslim)

6. Mendoakan orang yang telah memberikan piutang

Mendoakan orang yang telah memberikan utang. Jangan sampai kita mendekati pemberi utang, hanya karena ada maunya. Tidak boleh memaki pemberi utang, sekalipun mereka marah ketika menagih utang kepada kita yang berutang, sebab seperti yang disampaikan Nabi, itu adalah hak mereka.

Abdullah bin Abi Rabi’ah r.a menuturkan, ketika berangkat Perang Hunain, Nabi SAW berutang kepadanya tiga puluh atau empat puluh ribu. Ketika tiba di Madinah, beliau membayar utangnya seraya bersabda kepadanya, “Semoga Allah melimpahkan berkah untukmu pada keluarga dan harta kekayaanmu. Sesungguhnya balasan utang adalah kesetiaan dan pujian.” (HR. Ibnu Majah).

Tulisan ini disarikan dari buku Amalan-Amalan Ringan Pembuka Pintu Surga, Subagus Indra. ***

Bagikan :

Bagikan

Berita Lainnya